Monday, 25 January 2016

Sistem Subak Sebagai Sistem Irigasi Masa Depan

SISTEM subak merupakan suatu warisan budaya Bali yang berupa suatu sistem irigasi yang mengatur pembagian pengelolaan airnya yang berdasarkan pada pola-pikir harmoni dan kebersamaan yang berlandaskan pada aturan-aturan formal dan nilai-nilai agama.
Pengelolaan sistem irigasi konvensional cenderung hanya berdasarkan pada konsep-konsep efisiensi berdasarkan aturan-aturan formal, dengan pola pikir ekonomik.
Sementara itu, konsep-konsep efektivitas, nilai-nilai religi, dan pengelolaan sistem irigasi yang berlandaskan harmoni dan kebersamaan, ditata secara baik dan fleksibel pada sistem subak di Bali ini. [1]
Latar belakang didirikannya organisasi ini beberapa ribu tahun yang lalu karena lingkungan topografi dan kondisi sungai-sungai di Bali yang curam. Hal ini menyebabkan sumber air pada suatu komplek persawahan petani umumnya cukup jauh dan terbatas.
Untuk dapat menyalurkan air ke sebuah kompleks persawahan, mereka harus membuat terowongan menembus bukit cadas. Kondisi inilah yang menyebabkan para petani Bali menghimpun diri dan membentuk organisasi Subak.
Subak dipimpin oleh seorang Kelian Subak atau Pekaseh yang mengoordinasi pengelolaan air berdasarkan tata tertib (Bahasa Bali: awig-awig) yang disusun secara egaliter.
Saat irigasi berjalan baik, mereka menikmati kecukupan air bersama-sama. Sebaliknya, pada saat air irigasi sangat kecil, mereka akan mendapat air yang terbatas secara bersama-sama.
Jadwal tanam dilaksanakan secara ketat. Waktu tanam ditetapkan dalam sebuah kurun tertentu. Umumnya, ditetapkan dalam rentang waktu dua minggu. Petani yang melanggar akan dikenakan sanksi.
Untuk memperoleh penggunaan air yang optimal dan merata, air yang berlebihan dapat dibuang melalui saluran drainasi yang tersedia pada setiap komplek sawah milik petani.
Sementara itu, untuk mengatasi masalah kekurangan air yang tidak terduga, mereka melakukannya dengan cara-cara seperti:
  1. Saling pinjam meminjam air irigasi antar anggota subak dalam satu subak, atau antar subak yang sistemnya terkait.
  2. Melakukan sistem pelampias, yakni kebijakan untuk memberikan tambahan air untuk lahan sawah yang berada lebih di hilir. Jumlah tambahan air ditentukan dengan kesepakatan bersama.
  3. Melakukan sistem pengurangan porsi air yang harus diberikan pada suatu komplek sawah milik petani tertentu, bila sawah tersebut telah mendapatkan tirisan air dari suatu kawasan tertentu di sekitarnya.
  4. Jika debit air irigasi sedang kecil, petani anggota subak tidak dibolehkan ke sawah pada malam hari, pengaturan air diserahkan kepada pengurus Subak.
Kelemahan paling menonjol dari sistem irigasi tradisional adalah ketidakmampuannya untuk membendung pengaruh luar yang menggerogoti artefaknya, yang terwujud dalam bentuk alih fungsi lahan, sehingga eksistensi sistem irigasi tradisional termasuk didalamnya sistem subak di Bali menjadi terseok-seok.
Beberapa tahun yang lalu, revolusi hijau telah menyebabkan perubahan pada sistem irigasi tradisional, dengan adanya varietas padi yang baru dan metode yang baru, para petani harus menanam padi sesering mungkin, dengan mengabaikan kebutuhan petani lainnya. Metode yang baru pada revolusi hijau ini pada awalnya menghasilkan hasil panen yang melimpah, tetapi kemudian diikuti dengan kendala-kendala seperti kekurangan air, hama dan polusi akibat pestisida baik di tanah maupun di air.
Sistem Subak memiliki karakteristik unik apabila dibandingkan dengan sistem tradisional lainnya, yaitu selalu memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik atau Pura Bedugul yang khusus dibangun oleh para petani untuk memuja Tuhan. Keberadaan pura-pura ini sebagai ungkapan rasa syukur dan terimakasih para petani yang ditujukan untuk memuja Dewi Sri sebagai manifestasi Tuhan YME sebagai dewi kemakmuran dan kesuburan.
Dengan selalu mengutamakan pola-pikir harmoni dan kebersamaan yang berlandaskan pada aturan-aturan formal dan nilai-nilai agama diharapkan sistem irigasi tradisional subak ini dapat membendung pengaruh luar untuk menjaga eksistensinya di masa yang akan datang.
Permasalahan Masa Kini Sistem Subak : Pengaruh Faktor Ekonomi
Penelitian yang dilakukan Sigit Supadmo Arif, dkk. terhadap sistem subak di Bali menunjukkan bahwa faktor ekonomi sangat mempengaruhi perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga tersebut. [2,3]
Oleh karenanya, antisipasi yang harus dilakukan untuk mampu melestarikan sistem subak di Bali adalah dengan melakukan pendekatan-pendekatan ekonomi.
Misalnya, pertama, memperkuat lembaga ekonomi seperti koperasi tani, lembaga perkreditan subak, dan lain-lain yang ada pada sistem subak. Langkah kedua adalah dengan meringankan beban ekonomi anggota subak. Langkah ketiga adalah dengan berusaha meningkatkan semangat kerja para pekaseh untuk mengurus pengelolaan sistem irigasi. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan honorarium bagi para pekaseh.
Dalam kaitan dengan permasalahan ekonomi ini, tentu saja kemauan politik dan uluran tangan dari pihak Pemprop Bali sangat penting dalam menjaga keberlangsungan sistem subak di Bali. Sejarah subak di Bali pada masa kerajaan terdahulu terlihat jelas peranan raja-raja sangat berpengaruh dalam perkembangan dan keberlangsungan subak untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
KESIMPULAN
Subak sebagai lembaga yang berwatak sosio-kultural memiliki kekuatan dan kearifan, yakni fleksibel dan mampu menyerap teknologi pertanian maupun menyerap kebudayaan yang berkembang pada masyarakat sekitarnya. Dengan demikian, setiap kegiatan dalam subak selalu mencerminkan keseimbangan hubungan yang harmonis dan serasi sesama manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa yaitu Tri Hita Karana.
Bali mempunyai potensi besar dalam bidang pertanian, hal itu dilihat dari posisi geografis dengan empat danau besar yang mampu memberikan pembagian air secara merata. Tiga buah danau yang meliputi Danau Beratan, Buyan, dan Tamblingan berfungsi sebagai sumber air bagi Bali tengah, barat, dan selatan. Sementara Danau Batur di Bangli sebagai sumber air di Bali timur.
Perkembangan teknologi yang sangat pesat menyebabkan sistem pertanian di Bali berubah dari sistem tradisional ke sistem pertanian konvensional, sekaligus tanah yang tadinya subur berubah menjadi tidak subur karena banyak keanekaragaman hayati hilang. Tanaman jeruk yang tadinya menjadi tumpuan hidup masyarakat tidak lagi bisa berkembang, dan mangga yang tadinya manis berubah menjadi masam. Oleh sebab itu, pengembangan pertanian organik yang dirintis Pemerintah Provinsi Bali akan mampu mendukung upaya mengembalikan kesuburan tanah, sekaligus pelestarian alam dan seni budaya, terutama yang terkandung dalam subak

No comments:

Post a Comment