Pembangkit Listrik Energi Terbarukan
Dalam 10 tahun terakhir ini, kebutuhan dunia akan sumber energi alternatif (SEA) dan terbarukanmeningkat dengan laju hampir 25% per tahun. Peningkatan ini didorong oleh: (i) naiknya kebutuhan energi listrik; (ii) naiknya keinginan untuk menggunakan teknologi yang bersih; (iii) terus naiknya harga bahan bakar fossil; (iv) naiknya biaya pembangunan saluran transmisi; dan (v) naiknya untuk meningkatkan jaminan pasokan energi. Agar peran SEA bisa meningkat dengan cepat maka harga dan keandalan sistem pembangkit listrik berbasis energi alternatif harus bisa bersaing dengan pembangkit konvensional. Gambar 1 memperlihatkan perkembangan harga energi yang dibangkitkan dengan SEA selama 20 tahun terakhir ini. Gambar ini menunjukkan bahwa harga energi listrik yang didapat dengan SEA terus menurun dan bahkan beberapa diantaranya telah lebih rendah dari sumber energi konvensional. Perkembangan teknologi menunjukkan bahwa harga energi listrik yang dibangkitkan dengan SEA akan terus menurun sehingga kebutuhan akan peralatan yang digunakan dalam pembangkit semacam ini akan meningkat dengan cepat.
Pasar pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di dunia terus meningkat pesat dalam 10 tahun terakhir ini. Pada tahun 2008 saja, diperkirakan akan dipasang lebih dari 20.000 MW pembangkit listrik tenaga bayu. Sampai tahun 2025, pemerintah Indonesia berencana untuk memasang PLTB dengan kapasitas sampai 250 MW.
Gambar 1. Biaya produksi listrik
Elektronika daya merupakan teknologi kunci dalam pemanfaatan sumber energi alternatif. Pembangkit listrik berbasis SEA menghasilkan tegangan listrik searah (DC) atau bolak-balik (AC) yang frekuensinya berubah-ubah. Agar bisa dimanfaatkan oleh banyak konsumen maka tegangan listrik ini harus diubah menjadi tegangan AC yang frekuensinya tetap, yaitu 50 atau 60 Hz. Ini berbeda dengan pembangkit listrik konvensional yang menggunakan generator sinkron putarantetap dan menghasilkan tegangan listrik pada frekuensi 50 atau 60 Hz. Perubahan bentuk tegangan listrik yang dihasilkan dengan SEA hanya bisa dilakukan secara efisien dengan menggunakan pengubah (konverter) berbasis elektronika daya. Jika kebutuhan akan pembangkit semacam ini meningkat pesat maka kebutuhan akan peralatan elektronika daya juga meningkat pesat. Kesempatan ini harus diambil oleh rakyat Indonesia jika tidak ingin hanya menjadi konsumen seperti halnya teknologi lain. Artikel ini membahas pemanfaatan sumber energi alternatif terbarukan dan beberapa permasalahannya.
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB)
Pembangkit listrik tenaga angin atau bayu (PLTB) mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam 20 tahun terakhir ini, terutama di belahan Eropa utara. Jerman dan Denmark telah menggunakan tenaga angin untuk membangkitkan hampir 20% kebutuhan energi listriknya. Pada akhir tahun 2010, diperkirakan PLTB terpasang di dunia akan mencapi lebih dari 150 GW.
Sebagai negara yang berada di ekuator, potensi dari PLTB memang tidak terlalu besar. Akan tetapi berdasarkan data yang ada, ada beberapa daerah di Indonesia, misal NTB dan NTT, yang mempunyai potensi bagus. Sebagian besar daerah di Indonesia mempunyai kecepatan angin rata-rata sekitar 4 m/s, kecuali di dua propinsi tersebut. Oleh sebab itu, PLTB yang cocok dikembangkan di Indonesia adalah pembangkit dengan kapasitas di bawah 100 kW. Tentu saja ini berbeda dengan Eropa yang berkonsentrasi untuk mengembangkan PLTB dengan kapasitas di atas 1 MW atau lebih besar lagi untuk dibangung di lepas pantai.
Masalah utama dari penggunaan PLTB adalah ketersediaannya yang rendah. Untuk mengatasi masalah ini maka PLTB harus dioperasikan secara paralel dengan pembangkit listrik lainnya. Pembangkit listrik lainnya bisa berbasis SEA atau pembangkit konvensional. Walaupun sebuah PLTB hanya membangkit daya kurang dari 100 kW, kita bisa membangun puluhan PLTB dalam satu daerah. Dengan memanfaatkan PLTB maka kebutuhan akan bahan bakar fossil akan jauh berkurang. Selain mengurangi biaya operasi, penggunaan PLTB akan meningkatkan jaminan pasokan energi suatu daerah. Di daerah kepulauan seperti halnya NTB dan NTT, yang mana semua kebutuhan energinya harus didatangkan dari daerah lain, keberadaan PLTB akan membantu meningkatkan kemandiriannya. Di banding dengan diesel, PLTB mempunyai potensi mengurangi emisi CO2 sebesar 700 gram untuk setiap kWh energi listrik yang dibangkitkan.
Gambar 2 memperlihatkan skema PLTB yang cocok untuk daya kurang dari 100 kW. Turbin angin memutar generator tegangan bolak-balik. Karena kecepatan angin berubah-ubah maka tegangan AC yang dihasilkan generator mempunyai frekuensi yang berubah-ubah. Tegangan AC yang frekuensinya berubah-ubah ini harus diubah menjadi tegangan DC yang tetap dengan menggunakan penyearah. Tegangan DC ini selanjutnya diubah menjadi tegangan AC frekuensi 50 Hz dengan menggunakan inverter. Keluaran inverter diparalel dengan jaringan listrik yang ada. Dengan menggunakan konsep ini, semua energi listrik yang dibangkitkan oleh PLTB bisa dikirim ke jaringan untuk dimanfaatkan. Pembangkit semacam ini juga tidak memerlukan batere yang mahal dan butuh pemeliharaan rutin.
Teknologi turbin atau kincir angin yang diperlukan dalam PLTB telah dikuasai oleh orang Indonesia dan beberapa industri lokal telah mampu membuatnya dengan baik. Generator yang digunakan bisa menggunakan generator induksi (yang murah dan kokoh) atau generator magnet permanen yang efisien. Kedua teknologi generator ini telah dikuasai oleh orang Indonesia dan beberapa industri telah mampu membuatnya. Yang menjadi masalah adalah bahan baku yang sebagian besar harus didatangkan dari luar. Teknologi penyearah dan inverter juga dikuasai oleh orang Indonesia walaupun industri yang mampu membuatnya masih terbatas. Di Indonesia juga tidak tersedia orang yang menguasai teknologi komponen elektronika daya, apalagi industrinya. Semua komponen elektronika daya harus didatangkan dari luar. Di Indonesia, peneliti yang mendalami teknologi elektronika daya juga sangat terbatas. Perkembangan kebutuhan akan pembangkit listrik berbasis SEA ini sebaiknya diambil oleh pemerintah Indonesia untuk mengembangkan industri elektronika daya berserta sumber daya manusianya.
Gambar 2. Pembangkit listrik tenaga bayu
Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Sebagai negara yang berada di ekuator, Indonesia mempunyai potensi energi matahari yang sangat besar. Ada dua cara yang umum digunakan dalam pemanfaatan energi matahari, yaitu menggunakan solar-thermal dan sel fotovoltaik. Pada sistem solar-thermal, panas matahari dikumpulkan dengan menggunakan cermin untuk memanaskan air yang diletakkan dalam suatu ketel (boiler). Uap yang dihasilkan selanjutnya digunakan untuk memutar turbin dan generator. Pada sistem fotovoltaik, energi matahari langsung diubah menjadi energi listrik dengan menggunakan sel fotovoltaik atau sel surya. DI sini kita hanya akan membahas pembangit listrik tenaga surya berbasis fotovoltaik.
Pada tahun 2007, lebih dari 500 MW modul fotovoltaik terjual di dunia. Sebagian besar dari modul tersebut berbasis sel silikon kristal tunggal dan polikristal dengan efisiensi berkisar antara 14 sampai 20%. Kelemahan utama dari sel semacam ini adalah mahalnya harga wafer silikon yang digunakan.
Perkembangan terbaru teknologi sel surya adalah teknologi pita tipis silikon (kurang dari 1 mikron) yang didapat dari uap bahan semikonduktor. Pita tipis ini bisa dilekatkan pada bahan nonfleksibel (kaca) maupun yang fleksibel (metal foil atau polymer). Bahan semikonduktor yang umum digunakan adalah silikon amorphous. Sel surya yang diproduksi dengan cara ini mempunyai efisiensi sekitar 8-9%. Keuntungan utama dari teknologi ini adalah dimungkinkannya pembuatan sel surya secara kontinyu dalam bentuk gulungan sehingga mengurangi biaya penyambungan antar sel. Karena fleksibel, sel surya yang dihasilkan bisa dibentuk seperti genting, jendela, atau bentuk bagian bangunan lainnya. Hambatan utama dari penerapan teknologi ini adalah mahalnya teknologi peralatan yang dipakai untuk memproduksinya. Teknologi terbaru yang masih dalam tahap pengembangan adalah sel surya berbasis bahan organik. Teknologi yang digunakan berbeda jauh dengan teknologi sel surya konvensional. Jika teknologi manufaktur yang murah bisa diciptakan maka sel surya organik semacam ini bisa jauh lebih murah dibanding sel surya konvensional.
Seperti halnya PLTB, masalah utama dari PLTS adalah ketersediannya. Energi matahari hanya tersedia di siang hari. Oleh sebab itu, PLTS harus bekerjasama dengan pembangkit lain untuk meningkatkan keandalannya. Untuk itu, tegangan DC yang dihasilkan oleh modul fotovoltaik harus diubah menjadi tegangan AC dengan menggunakan inverter. Tegangan bolak-balik yang dihasilkan inverter harus mempunyai bentuk dan frekuensi yang baik agar bisa diparalelkan dengan jaringan listrik yang ada.
Gambar 3 memperlihatkan skema pembangkit listrik tenaga surya skala kecil yang dipakai untuk skala rumahtangga. Tegangan DC yang dihasilkan sel surya diubah menjadi tegangan AC dengan menggunakan inverter. Inverter diparalel dengan tegangan jala-jala (misal PLN). Sebagian energi listrik yang dihasilkan sel surya akan dikonsumsi sendiri. Jika berlebih, energi listrik yang dihasilkan bisa dijual ke jaringan PLN. Pembangkit listrik semacam ini tidak memerlukan batere sebagai penyimpan energi.
Gambar 3. Pembangkit listrik tenaga surya
PLTS tidak hanya berguna bagi rakyat Indonesia yang tinggal di daerah kepulauan untuk meningkatkan kemandirian di bidang energi tetapi juga berguna bagi penduduk pulau Jawa yang ingin mengurangi beban PLN atau mengurangi emisi CO2. Di banding pembangkit batu bara, PLTS mempunyai peluang mengurangi lebih dari 1 kg CO2 untuk setiap kWh energi listrik yang dibangkitkannya. Dengan menggunakan teknologi film tipis, PLTS bisa dipasang di kaca-kaca jendela gedung bertingkat tanpa mengubah tampilan bangunan. Pemasangan PLTS bisa digunakan untuk meningkatkan image perusahaan dalam memperoleh sertifikat ramah lingkungan. Di banyak negara maju, memiliki sertifikat ramah lingkungan terbukti sangat berguna dalam menarik investor dan menaikkan harga saham.
Sampai tahun 2025, pemerintah Indonesia berencana memasang PLTS sampai 1000 MW. Jika melihat kebutuhan akan PLTS dunia, maka peluang bisnis PLTS sangat-sangat besar. Sayangnya, hanya sedikit orang Indonesia yang menguasai teknologi ini. Tidak ada industri di Indonesia yang memproduksi sel surya, biasanya baru terbatas merakitnya. Seperti halnya PLTB, hanya sedikit orang atau industri di Indonesia yang menguasai teknologi elektronika daya yang diperlukan dalam PLTS.
Penutup
Selain alasan ekonomis, penggunaan SEA bisa digunakan untuk memperbaiki kemandirian suatu negara atau daerah. SEA bisa digunakan untuk ikut memperbaiki memburuknya lingkungan akibat emisi CO2 yang dihasilkan pembangkit konvensional. Terus naiknya pasar pembangkit listrik berbasis SEA harus digunakan sebagai momentum untuk mempersiapkan diri sehingga rakyat Indonesia tidak hanya menjadi konsumen dan penonton. Persiapan ini harus mencakup persiapan sumber daya manusia, industri, dan peraturannya. Hambatan subsidi yang menyebabkan penerapan penerapan SEA kurang ekonomis harus secara bertahap diatasi.
No comments:
Post a Comment