Sunday 3 January 2016

Ayo Membangun Pembangkit Listrik di Indonesia

Ayo Membangun Pembangkit Listrik di Indonesia
“Berdasarkan laporan investigasi yang dirilis oleh Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2010, kelistrikan di Indonesia digambarkan sebagai salah satu infrastruktur yang kondisinya sangat mengkhawatirkan dan perlu segera mendapatkan perhatian serius” [1]
Mari kita coba bersama-sama untuk merenungkan pernyataan yang dirilis oleh ADB di atas! Bayangkan saja, apabila kapasitas listrik maksimum Indonesia saat ini sebesar 18.000 MW, dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 300 juta jiwa, maka setiap orang di Indonesia hanya bisa menikmati listrik sebesar 60 Watt saja, atau setara dengan 1 buah lampu pijar. Memprihatinkan bukan?
Berdasarkan fakta yang serupa, secara gamblang dinyatakan juga bahwa karakteristik kelistrikan di Indonesia ditandai oleh rasio elektrifikasi yang rendah dengan tingkat konsumsi dan effisiensi terendah di ASEAN setelah Kamboja dan Laos.
Dan apabila rata-rata pertumbuhan konsumsi listrik Indonesia bertahan pada angka 2,3-2,5% seperti pada saat ini, maka pada tahun 2030 nanti diperkirakan kebutuhan konsumsi listrik di Indonesia akan mencapai angka 16.000 TWh. [2]
Peningkatan investasi pada pembangunan pembangkit listrik perlu dilakukan untuk menghindari krisis listrik di tahun-tahun yang akan datang. Pada artikel ini akan dibahas tentang karakteristik pembangkit listrik primer yang dapat dikembangkan di Indonesia. Definisi pembangkit primer yang dimaksud adalah pembangkit berskala besar yang menggunakan sumber energi primer dengan tingkat energi yang besar, seperti bahan bakar minyak bumi, gas alam, batubara, geothermal, atau nuklir.
Banyak yang menilai bahwa sistem distributed generation atau islanded microgrid dengan menggunakan energi terbarukan adalah investasi yang paling tepat diterapkan di Indonesia, mengingat struktur geografisnya yang berupa kepulauan. Namun perlu juga diingat, bahwa penyediaan listrik pun diperlukan untuk menunjang pertumbuhan di area perkotaan dan kawasan industri. Sehingga pengembangan pembangkit listrik primer berkapasitas besar (ratusan megawatt) pun tidak boleh dipandang sebelah mata, meskipun diperlukan waktu untuk pengembangannya.
PEMBANGKIT LISTRIK BERBAHAN BAKAR MIGAS
Penggunaan bahan bakar migas bukan lagi merupakan alternatif yang menjanjikan. Pasalnya, selain cadangannya yang sudah semakin menipis, kebijakan pemerintah pada penggunaan migas sebagai pasokan energi nasional pun semakin dikurangi, mengingat nilai ekonomisnya yang sangat tinggi sebagai komoditas eksport. Sehingga dengan kata lain, upaya yang dilakukan pemerintah dan investor saat ini adalah berusaha mengurangi pemakaian pembangkit listrik jenis ini dan menggantinya dengan pilihan energi primer lainnya seperti pembangkit listrik berbahan bakar batubara, tenaga nuklir, dan tenaga panas bumi.
PEMBANGKIT LISTRIK BERBAHAN BAKAR BATUBARA
Pada umumnya lebih dikenal dengan nama Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), meskipun sebenarnya tidak selalu PLTU adalah pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.
Teknologi PLTU berbahan bakar batubara tergolong dalam teknologi yang sudah sangat mapan, sehingga keandalannya pun tidak perlu diragukan lagi. Di kelas pembangkit primer, biaya produksinya pun dinilai sebagai yang paling murah saat ini. Ditambah lagi dengan cadangan batubara yang melimpah di Indonesia, membuat PLTU Batubara menjadi primadona dari semua pembangkit primer di Indonesia.
Salah satu metode untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi pencemaran lingkungan pada PLTU batubara adalah dengan menggunakan metode gasifikasi batubara. PLTU batubara dengan teknologi gasifikasi diperkirakan mampu mengeluarkan 99 % lebih sedikit sulfur dioksida (SO2) dan abu terbang, serta 90 % lebih sedikit nitrogen oksida (NOx). Selain itu, teknologi ini juga diperkirakan dapat menurunkan emisi gas karbon (CO2) hingga 35 – 40 %, menurunkan buangan padat 40 – 50 % serta mampu menghasilkan efisiensi 10 – 20 % lebih besar.
Teknologi gasifikasi yang digabungkan dengan teknologi turbin gas dan HRSG (Heat Recovery Steam Generator) akan memegang peranan utama pada pusat-pusat pembangkit gasifikasi terpadu dengan tingkat efisiensi dan keandalan yang tinggi serta tentu saja lebih ramah lingkungan.
Disamping itu di masa kini, terdapat juga teknologi yang mampu menyerap gas CO2, yang dapat diaplikasikan pada PLTU dan pembuangan gas hasil proses industri. Teknologi ini lebih dikenal dengan sebutan CCS (Carbon Capture Storage).[3]
PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR
Perkembangan terpesat PLTN kini terjadi di negara-negara berkembang seperti RRC dan India. Sementara negara terbanyak yang menggunakan PLTN hingga saat ini adalah Amerika, sebanyak 104 reaktor yang telah beroperasi, 20% dari total energi listrik yang dihasilkan untuk kebutuhan nasionalnya.
Lantas, apabila ternyata banyak negara telah menggunakan PLTN, benarkah Indonesia memang tidak mampu untuk menggunakan teknologi yang satu ini? Kecelakaan Chernobyl, TMI, dan Fukushima memang berakibat fatal, namun juga memberikan kita pelajaran bagaimana cara penanggulangan bahaya nuklir dan pencegahan pencemaran radiasi kedepannya.
Perkembangan desain yang sangat signifikan pada generasi mutakhir dari PLTN adalah dengan menggunakan prinsip kehandalan berlapis untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang terburuk. Dengan desain ini, kegagalan salah satu sistem tidak akan menyebabkan kegagalan sistem keselamatan secara total.
Ibarat naik pesawat terbang, moda transportasi yang satu ini memang memiliki resiko yang sangat besar, namun bukan berarti kita tidak membutuhkan teknologinya bukan? Suatu kecelakaan penerbangan tidak membuat kita menjadi trauma dalam menggunakan teknologinya. Bukankah dengan menggunakan sistem pengamanan yang memadai, kita tetap bisa tidur nyenyak selama perjalanan?
PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA PANAS BUMI (GEOTHERMAL)
Hambatan terbesar dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi adalah biaya Investasi awal PLTP sangat tinggi. Satu kali pengeboran membutuhkan biaya kurang lebih sebesar 70 Milyar hingga mendapatkan lokasi reservoir yang cocok untuk digunakan sebagai PLTP. Dan meskipun pemboran telah dilakukan dan berhasil, bukan berarti satu sumur tersebut dapat langsung beroperasi. Sumur-sumur panas bumi tidak dapat langsung digunakan melainkan dikumpulkan hingga total debit uap panas bumi yang dibutuhkan untuk keperluan pembangkit terpenuhi. Ini menyebabkan tingkat pengembalian modal menjadi relatif lama.
Sehingga tidak perlu heran jika badan usaha yang mampu bermain di bidang ini hanya lah perusahaan-perusahaan besar dengan modal yang kuat. Untuk itu dukungan dari pemerintah sangat diperlukan apabila memang mau mengembangkan teknologi panas bumi di Indonesia.
Perlu diketahui bahwa cadangan panas bumi di Indonesia sangatlah besar, hingga mencapai 40% cadangan dunia. Berdasarkan data PT. Pertamina Geothermal Energy, disebutkan bahwa cadangan geothermal di Indonesia dapat menghasilkan hingga 27.000 MW, sementara yang telah termanfaatkan baru sekitar 1.198 MW saja. Bukannya tidak mungkin apabila pemanfaatan panas bumi dapat dilakukan secara maksimal, Indonesia kemudian akan mampu berdiri sebagai kiblat bagi pengembangan energi geothermal di seluruh dunia.
KESIMPULAN
Pemenuhan kebutuhan listrik di Indonesia merupakan hal yang mendesak harus segera dibenahi apabila Indonesia tidak mau mengalami krisis energi dalam beberapa tahun ke depan. Pembangunan pembangkit-pembangkit primer pun perlu mendapat perhatian apabila ingin tetap dapat menyokong kebutuhan listrik didaerah perkotaan dan industri yang notabene merupakan pusat-pusat pertumbuhan perekonomian Indonesia. Meski demikian, isu-isu non-teknis, seperti harga minyak dunia dan isu lingkungan dapat menyulitkan pembangunan pembangkit listrik dengan teknologi konvensional yang lazim kita gunakan (khususnya untuk pembangkit listrik tenaga minyak, gas, dan batu bara). Untuk itu penguasaan teknologi alternatif pembangkit listrik yang lebih mutakhir pun diperlukan untuk mendukung pembangunan pusat-pusat pembangkit listrik yang mumpuni.
PLTU dengan CCS, Nuklir dan Geothermal, merupakan teknologi kekinian yang perlu segera dikuasai oleh Indonesia untuk menjamin kestabilan energi nasional di masa yang akan datang. Tentu saja tantangan besar ini hanya akan dapat terwujud apabila kita mau memberikan dukungan 100% pada pemerintah untuk memprioritaskan pembangunan dan pengembangan pembangkit listrik di Indonesia.
Referensi
[1] ADB, ILO and IDB “Country Diagnostics Studies, Indonesia: Critical Development Constraints”, Mandaluyoung City, Philippines; Asian Development Banks, 2010.
[2] Blog Konversi ITB, Menghemat Energi dengan menggunakan Listrik, Pekik Argo Dahono
[3] Secondary Energy Infobook, National Education Energy Development (NEED)

No comments:

Post a Comment