Sunday 3 January 2016

Pemulihan Energi Pada Bangunan (Recover Energy Building)

Pemulihan Energi Pada Bangunan (Recover Energy Building)
Kira-kira 10 tahun yang lalu, dimana kebermaknaan ilmu arsitektur masih berbasiskan estetika ruang dan komposisi bentuk, energi bukan merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi dalam utilisasi ruang. Kebanyakan dari bangunan yang didesain jarang memperhatikan aspek perpindahan kalor, dan penggunaan energi listrik di dalamnya. Hal ini menyebabkan unsur energi dalam bangunan menjadi terabaikan dan alhasil selalu menempati nomor terakhir dalam aspek cetak biru desain. Dampak ini sangat terasa pada bangunan yang sudah beroperasi dalam waktu lama, dimana kebutuhan insan yang terlibat didalamnya semakin lama semakin bergantung pada sumber energi eksternal secara berlebihan. Sebagai contoh, pompa air yang dioperasikan terus-menerus untuk membuat ‘air terjun’ buatan yang di dalam rumah tentunya cukup memakan energi dalam jumlah yang banyak. Lalu, penggunaan lampu untuk menerangi sisi-sisi rumah secara berlebihan dengan kapasitas daya yang sangat besar di malam hari. Sungguh sangat tidak relevan bila sisi energi dikorbankan hanya untuk mendapatkan efek citra ruang yang tidak begitu penting keberadaannya.
Konsumsi energi pada areal bangunan, terutama pada daerah urban biasanya selalu melibatkan sumber energi non-terbarukan. Oleh karena itu, sangat tidak bijak apabila sumber energi ini dipakai terus menerus tanpa memperhatikan keberlangsungannya (sustainability) dan kebermanfaatannya pada bangunan. Arsitektur memang suatu ilmu yang mengakomodasi manusia dari sisi papan, hanya saja saat ini ada poin keempat dari kebutuhan dasar manusia, yaitu energi yang juga harus diperhatikan dalam unsur bangunan. Oke, sudah cukup uraian permasalahan yang perlu  untuk dikritisi. Sekarang bagaimana solusinya?
Pemulihan Energi Pada Bangunan (Recover Energy Building)
Istilah ini baru saya buat hari ini setelah seorang rekan mengajak saya mendesain sekolah musik dengan unsur energi terbarukan didalamnya. Dari ajakan itu, saya coba-coba lihat bagaimana pada umumnya bangunan-bangunan sekolah didesain. Saya sempat lihat desain arsitektur bangunan sekolah Universitas Pelita Harapan (UPH) dari brosur, dan saya terkesima… Ternyata desain mereka yang mewah dan elegan tetap memperhatikan aspek energi terbarukan didalamnya (saya belum tahu apa ini benar-benar direalisasikan). Dari pengamatan ini terlintas pertanyaan di pikiran saya : “Oke, kita memang butuh energi… lalu kalau keberadaan energi ini sifatnya temporary bagaimana saya dapat mengusulkan penghematan energi?”. Hmmm, cukup membuat saya berfikir panjang… Sampai akhirnya saya dapat jawabannya  yaitu :Recover Energy Building.
“Recover Energy Building” dalam kamus saya, artinya mengembalikan sejumlah energi “non-renewable” yang terpakai pada bangunan dengan cara mengekstrak kembali sejumlah energi sebagai penggantinya. Energi ini tentunya harus dapat berguna juga untuk aktivitas yang berlangsung pada bangunan. Sedikit membingungkan, tapi memang itu letak ide dasarnya.
Disamping itu, perlu ditekankan bahwa rasio energi yang didapatkan dengan energi non-terbarukan yang digunakan tidak perlu 1:1. Hanya saja, ekspektasi kita terhadap penggunaan sumber energi yang didapatkan ini masih ada, yang artinya masih dapat berkontribusi terhadap penggunaan energi total pada bangunan. Sebagai contoh, saya sempat terpikir untuk membuat suatu sistem penggerak (prime mover) yang berasal dari putaran ban mobil. Kira-kira platform yang digunakan untuk mengimplementasikan ide ini adalah pada parkiran hotel, apartemen, atau apapun yang tentunya memiliki lahan parkir yang luas.
Selain itu, kita dapat membuat talang-talang pada atap rumah untuk mengalirkan air hujan ke tempat tertentu dengan turbin air skala 1 kW dibagian ujung pipa alir. Jangan salah dengan ide ini, karena saya sempat lihat di rumah teman saya, ternyata air yang keluar dari pipa alir ini kecepatannya cukup tinggi dengan debit air yang cukup besar. Dengan ini, pada saat turun hujan kita dapat mengekstrak listrik yang mungkin dapat digunakan langsung ataupun disimpan terlebih dahulu melalui baterai.
Itu baru listrik, sekarang bagaimana dengan energi panas?
Satu-satunya energi panas yang paling mungkin dan paling mudah didapatkan oleh manusia tentunya berasal dari panas matahari. Panas matahari akan lebih efektif apabila digunakan kembali sebagai energi panas juga. Contoh dari penggunaan energi matahari misalnya pada aplikasi pemanas air. Untuk memanaskan air, kita dapat menggunakan cermin berbentuk parabola untuk mengumpulkan panas matahari pada titik fokusnya dengan fluida air mengalir pada titik ini. Panas ini nantinya muncul dari pantulan sinar matahari yang terkumpul pada bagian fokusnya. Cukup simpel, tapi saya pikir dapat memberikan kontribusi berarti pada bangunan-bangunan berskala besar.
Banyak sekali kemungkinan-kemungkinan “Recover Energy Building” lainnya yang dapat diterapkan pada bangunan-bangunan sehingga pada akhirnya akumulasi dari perolehan energi ini dapat menghasilkan sumbangsih yang cukup signifikan terhadap pemakaian energi pada bangunan. Penulis yakin, dengan adanya prinsip pemulihan energi pada bangunan, sedikit banyak kita dapat mengurangi kebutuhan akan sumber energi non-terbarukan yang masih menjadi salah satu domain dasar kebutuhan energi manusia.

No comments:

Post a Comment