Sunday 3 January 2016

Energi Surya: Alternatif Sumber Energi Masa Depan di Indonesia

Energi Surya: Alternatif Sumber Energi Masa Depan di Indonesia
Jika kita melihat tingkat konsumsi energi di seluruh dunia saat ini, penggunaan energi diprediksikan akan meningkat sebesar 70 persen antara tahun 2000 sampai 2030. Sumber energi yang berasal dari fosil, yang saat ini menyumbang 87,7 persen dari total kebutuhan energi dunia diperkirakan akan mengalami penurunan disebabkan tidak lagi ditemukannya sumber cadangan baru.
Cadangan sumber energi yang berasal dari fosil diseluruh dunia diperkirakan hanya sampai 40 tahun untuk minyak bumi, 60 tahun untuk gas alam, dan 200 tahun untuk batu bara. Kondisi keterbatasan sumber energi di tengah semakin meningkatnya kebutuhan energi dunia dari tahun ketahun (pertumbuhan konsumsi energi tahun 2004 saja sebesar 4,3 persen), serta tuntutan untuk melindungi bumi dari pemanasan global dan polusi lingkungan membuat tuntutan untuk segera mewujudkan teknologi baru bagi sumber energi yang terbaharukan.
Di antara sumber energi terbaharukan yang saat ini banyak dikembangkan [seperti turbin angin, tenaga air (hydro power), energi gelombang air laut, tenaga surya, tenaga panas bumi, tenaga hidrogen, dan bio-energi], tenaga surya atau solar sel merupakan salah satu sumber yang cukup menjanjikan.
Energi yang dikeluarkan oleh sinar matahari sebenarnya hanya diterima oleh permukaan bumi sebesar 69 persen dari total energi pancaran matahari. Suplai energi surya dari sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi sangat luar biasa besarnya yaitu mencapai 3 x 1024 joule pertahun, energi ini setara dengan 2 x 1017 Watt. Jumlah energi sebesar itu setara dengan 10.000 kali konsumsi energi di seluruh dunia saat ini. Dengan kata lain, dengan menutup 0,1 persen saja permukaan bumi dengan divais solar sel yang memiliki efisiensi 10 persen sudah mampu untuk menutupi kebutuhan energi di seluruh dunia saat ini.
Energy surya atau dalam dunia internasional lebih dikenal sebagai solar cell atauphotovoltaic cell, merupakan sebuah divais semikonduktor yang memiliki permukaan yang luas dan terdiri dari rangkaian dioda tipe p dan n, yang mampu merubah energi sinar matahari menjadi energi listrik.
Pengertian photovoltaic sendiri merupakan proses merubah cahaya menjadi energi listrik. Oleh karena itu bidang penelitian yang berkenaan dengan energi surya ini sering juga dikenal dengan penelitian photovoltaic. Kata photovoltaic sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Yunani photos yang berarti cahaya dan volta yang merupakan nama ahli fisika dari Italia yang menemukan tegangan listrik. Sehingga secara bahasa dapat diartikan sebagai cahaya dan listrik  photovoltaic.
Efek photovoltaic pertama kali berhasil diidentifikasi oleh seorang ahli Fisika berkebangsaan Prancis Alexandre Edmond Becquerel pada tahun 1839. Atas prestasinya dalam menemukan fenomena photovoltaic ini, Becquerel mendapat Nobel fisikia pada tahun 1903 bersama dengan Pierre dan Marrie Currie.
Baru pada tahun 1883 divais solar sel pertama kali berhasil dibuat oleh Charles Fritts. Charles Fritts saat itu membuat semikonduktor Selenium yang dilapisi dengan lapisan emas yang sangat tipis sehingga berhasil membentuk rangkaian seperti hubungan semikonduktor tipe p dan tipe n. Pada saat itu efisiensi yang didapat baru sekitar 1 persen. Pada perkembangan berikutnya seorang peneliti bernama Russel Ohl dikenal sebagai orang pertama yang membuat paten tentang divais solar sel modern.
Efisiensi divais solar sel dan harga pembuatan solar sel merupakan masalah yang paling penting untuk merealisasikan solar sel sebagai sumber energi alternatif. Efisiensi didefinisikan sebagai perbandingan antara tenaga listrik yang dihasilkan oleh divais solar sel dibandingkan dengan jumlah energi yang diterima dari pancaran sinar matahari.
.
Pada tengah hari yang cerah radiasi sinar matahari mampu mencapai 1000 watt permeter persegi. Jika sebuah divais semikonductor seluas satu meter persegi memiliki efisiensi 10 persen maka modul solar sel ini mampu memberikan tenaga listrik sebesar 100 watt. Saat ini modul solar sel komersial berkisar antara 5 hingga 15 persen tergantung material penyusunnya. Tipe silikon kristal merupakan jenis divais solar sel yang memiliki efisiensi tinggi meskipun biaya pembuatannya relatif lebih mahal dibandingkan jenis solar sel lainnya.
Pembangkit energi surya sebenarnya tergantung pada efisiensi mengkonversi energi dan konsentrasi sinar matahari yang masuk ke dalam sel tersebut. Professor Smalley, peraih Nobel bidang kimia atas prestasinya menemukan Fullerene, menyatakan bahwa teknologi nano menjanjikan peningkatan efisiensi dalam pembuatan sel surya antara 10 hingga 100 kali pada sel surya. Smalley menambahkan bahwa cara terbaik untuk mendapatkan energi surya secara optimal telah terbukti ketika sel surya dimanfaatkan untuk keperluan satelit ruang angkasa dan alat alat yang diletakkan di ruang angkasa. Penggunaan sel surya dengan meletakkannya di ruang angkasa dapat dengan baik dilakukan karena teknologi nano diyakini akan mampu menciptakan material yang super kuat dan ringan yang mampu bertahan di ruang angkasa dengan efisiensi yang baik.
Perkembangan yang menarik dari teknologi sel surya saat ini salah satunya adalah sel surya yang dikembangkan oleh Michael Gratzel. Gratzel memperkenalkan tipe solar sel photokimia yang merupakan jenis solar sel exciton yang terdiri dari sebuah lapisan partikel nano (biasanya titanium dioksida) yang di endapkan dalam sebuah perendam (dye). Jenis ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1991 oleh Gratzel, sehingga jenis solar sel ini sering juga disebut dengan sel Gratzel atau dye-sensitized solar cells (DSSC).
Sel Gratzel dilengkapi dengan pasangan redoks yang diletakkan dalam sebuah elektrolit (bisa berupa padat atau cairan). Komposisi penyusun solar sel seperti ini memungkinkan bahan baku pembuat sel Gratzel lebih fleksibel dan bisa dibuat dengan metode yang sangat sederhana seperti screen printing.
Meskipun solar sel generasi ketiga ini masih memiliki masalah besar dalam hal efisiensi dan usia aktif sel yang masih terlalu singkat, solar sel jenis ini diperkirakan mampu memberi pengaruh besar dalam sepuluh tahun ke depan mengingat harga dan proses pembuatannya yang sangat murah.
Indonesia sebenarnya sangat berpotensi untuk menjadikan solar sel sebagai salah satu sumber energi masa depannya mengingat posisi Indonesia pada khatulistiwa yang memungkinkan sinar matahari dapat optimal diterima di permukaan bumi di hampir seluruh Indonesia.
Berdasarkan perhitungan Mulyo Widodo, dosen Teknik Mesin ITB yang mengembangkan solar sel merk SOLARE di pasar komersial Indonesia, dalam kondisi puncak atau posisi matahari tegak lurus, sinar matahari yang jatuh di permukaan panel surya di Indonesia seluas satu meter persegi akan mampu mencapai 900 hingga 1000 Watt. Lebih jauh pakar solar sel dari Jurusan Fisika ITB Wilson Wenas menyatakan bahwa total intensitas penyinaran perharinya di Indonesia mampu mencapai 4500 watt hour per meter persegi yang membuat Indonesia tergolong kaya sumber energi matahari ini. Dengan letaknya di daerah katulistiwa, matahari di Indonesia mampu bersinar hingga 2.000 jam pertahunnya.
Dengan kondisi yang sangat potensial ini sudah saatnya pemerintah dan pihak universitas membuat satu pusat penelitian solar sel agar Indonesia tidak kembali hanya sebagai pembeli divais solar sel di tengah melimpahnya sinar matahari yang diterima di bumi Indonesia.
Oleh :
Brian Yuliarto, peneliti ISTECS, saat ini sebagai postdoctoral fellow di Energy Technology Research Institute, AIST Japan.
Reference :


No comments:

Post a Comment